Rabu, 18 Maret 2015

Gang Kucing #3

0 komentar
GANG KUCING Bag. 3
(Abang Sayang#4 Selesai)

Cuplikan episode sebelumnya:
Hufff

Kulempar begitu saja sampahnya ke dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat keluar. Wih, kaget. Dan saat itu juga memori di kepalaku segera mengingat sesuatu.

“Iya, Al. Biasanya diem di dekat TPS itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama Burik. Gak bisa cari betina yang agak manis dikit napa.”
Suara Bunda Yhatie beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya, ini pasti yang namanya Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini berdiri terpaku menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan kembali menatapku lagi.

“Sini, empush… push, push.” Aku berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti memanggil ayam.

Dengan ragu, Burik mendekat, mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di sana. Burik memang kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran manjanya ketika kuelus kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.

“Hoho, pantas saja Si Abang suka sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus terus bulu-bulu abu Burik yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat terlintas di benakku untuk membawa Burik ke rumah, memeliharanya di rumah, namun ide itu segera kuhapus ketika mengingat betapa Mama tidak akan setuju tentang itu. Dengan berat hati, kutinggalkan Burik yang masih terbengong menatapku, sedikit kecewa karena aku berhenti mangelusnya dan terus berlalu tanpa kembali menoleh padanya.

*****

Haaaah, liburan begini enaknya genjrang-genjreng di kamar, pasang sound system super nge-bass. Yeah! Buang sampah udah kelar. Oiya, mau mampir dulu ke rumah Mama Okta, penasaran sama tanaman-tanaman tadi, eh, apa namanya? Hoho, gini-gini juga aku sempat tertarik masuk fakultas pertanian, lho,  tapi entah, malah nyasar ke jurnalistik.

Bersamaan langkahku yang luar biasa penuh semangat, tiba-tiba seorang pemuda jangkung berkaca-mata memanggilku. Aku menengok.

“Permisi! Eh, numpang tanya!” Katanya dengan logat jawa kental, kemudian tergesa-gesa menghampiriku seraya melepas sebelah alat dengar yang menyumbat telinganya. Senyum ramahnya segera kusambut.

“Ya. Kenapa, Mas?” Aku menatapnya lekat.

“Ini,” segera dirogohnya selembar kertas dari dalam saku celananya, kemudian disodorkan padaku, “Maaf, tau alamat ini, ndak?”

Aku beralih, memeriksa alamat yang tertulis di kertas itu. Sejurus kemudian, mulutku membulat lebar. “Oooo… Aku tau, ayok aku tunjukkin.” Kataku memberi isyarat supaya dia mengikuti.

“Oh? Baik.” Air mukanya tampak sumringah.

Ah, jalanan masih sepi. Mas Ari and the gank belum penampakan di posko depan gang. Biasanya suka kumpul-kumpul begitu. Ngakunya sih rapat, gak tau rapat apaan di posko. Hehe, perasaan sering banget acara rapatnya tu orang, Hihi.

Satu dua kulewati rumah warga. Jadi teringat Mpok May, sudah lama pulang kampung, sampe gini hari belom balik juga, padahal aku dan Ratih hobi banget mangkal di teras rumahnya. Huhu, jadi kangen. Kata Mba Fitri yang tinggal di dekat kostan Bu Haji Salamah sono, Mpok May perginya subuh-subuh gitu, sih, jadi gak sempet pamitan ke semua tetangga, cuman waktu itu kebetulan aja suaminya Mbak Fitri udah petantang petenteng di halaman, ketemu dulu deh sama Mpok May.

“Al! Mao kemana lagii??” Et, dah, suara Ratih lagi. Aku celingukan.

“Ke rumah, lah. Kan baru buang sampah. Entar siang ditunggu, yak.”
Ratih mengangguk dari balkon rumahnya, kemudian melirik penuh tanda tanya pada sosok di belakangku.

“Ouh!” Haha, aku baru inget ada orang di belakangku sejak tadi.

“Mas ini tamunya Mama Okta! Haha.” Aku cekikikan, memberitahu asal-usul pemuda yang baru beberapa menit tadi bersamaku. Ngelamun kemana-mana sampai lupa sesuatu. Wkwkwk

Mas-mas di belakangku tersenyum dan mengangguk ke arah Ratih. Dia mulai mesem-mesem begitu, ah, aku tebak seandainya gak ada orang di sini udah pasti dia ngakak, atau seandainya dia udah akrab banget sama aku paling-paling kepalaku sudah jadi sasaran empuk jurus jitaknya. Tapi syukurlah, kejadiannya gak sampe begitu.

Ratih balas tersenyum. Jaim. Hehe.

“Udah, ah. Cus dulu nih.”

“Oke.”

Tak lama, kami sampai di depan pagar rumah mama Okta. Kulihat seseorang di halaman.

“Misi, Om. Ada tamu, nih!” Seruku.

*****

Bang Safri sudah kembali mendorong gerobak sayurnya. Itu artinya para ibu sudah kembali ke habitatnya masing-masing, kegiatan rumpi sudah berakhir. Hehe, memang begitu kegiatan ibu-ibu, gak cuman di filem-filem aja, yang namanya acara beli sayuran sudah pasti kagak rame kalo tanpa bumbu berupa obrolan seputar kehidupan rumah tangga. Dari mulai suami, anak, cucu, cicit, tetangga samping kiri, tetangga samping kanan, depan, belakang, semua kesebut. Lha, anehnya di sini: sampai berita kelahiran kucing aje sampe jadi hot news. Haha, di mana lagi keunikan ini terjadinya kalo bukan  di Gang Kucing.

“Abaang!!” Nah, kalo yang ini pasti teriakan khas milik Bunda Yhatie. Aku merandeg.

“Kabur lagi dia!”

Aku berdiri, melihat sedikit keributan dari balik pintu pagar Bunda Yhatie. Rupanya Abang menyelinap kabur saat pintu rumahnya terbuka. Lantas sosok berbulu abu itu melarikan diri, hampir bertabrakan denganku.

“Kemana dia perginya, Al?” Bunda Yhatie melihat padaku, wajahnya terlihat agak kesal, dipandanginya semak-semak di samping rumah.

“Ke sana, Bunda.” Telunjukku segera memberi tahu ke mana arahnya Si Abang pergi. Ke luar gang. Barangkali menuju ke TPS di depan sana. Ketemuan sama pacarnya, Si Burik. Trus entar mereka nangis-nangis Bombay gitu kayak di filem Rano Karno. Lho?

Bunda Yhatie hanya geleng-geleng melihat aksi kucing semata wayangnya itu.

“Tadi pacarnya Si Abang ada tuh di TPS. Hehehe.”

“Si Burik?”

“Iya, Bun.”

“Ckckck.”

“Kasian, Bun. Biarin aja…” Usulku membuat Bunda Yhatie tertegun lalu menarik napas berat.

Aku segera pamit dan berlalu. Rencana teriak-teriak sambil bunyiin musik keras-keras harus segera terealisasi.

*****

Betul sekali dugaan Bunda Yhatie. Abang tidak pernah mau pulang setelah aksi pelariannya kemarin. Sampai akhirnya pada suatu sore, Si Abang nongol juga di teras, bawa pacarnya juga, gak cuma Burik yang nangkring di situ, masih ada satu betina lagi. Total semuanya bertiga. Nah, terus… yang ngedeprok di atas pagar tembok itu masih pacarnya juga? Ah, iya berarti lagi berempat... Eh, tapi… diam-diam ada sepasang mata betina memperhatikan dari luar pagar.

Duh, duh… Si Abang…

Selesai

*****

Tunggu serial Gang Kucing di edisi berikutnya ;)

Trims buat para pemeran: Koh YumeDha SinoShuke pemeran baru di Gang Kucing, Ratih Nur Aini dan kucing-kucingnya di balkon rumah hehe, Ari Saputra dan kawan-kawan tongkrongannya di posko depan Gang Kucing, Mama Okta Leni yang punya Muty sama Ucil, Bunda Yhatie Suryo Lukman yang punya Si Abang, Mbak Fitri Anggriani yang punya Mboth, Mpok May yang entah pergi ke mana, aku kangennnn, rumah di Gang Kucing kosong terus tuh Mpok...

Salam untuk semua sahabat di KPK. Happy New Year!

0 komentar:

Posting Komentar