GANG KUCING Bag. 3
(Abang Sayang#3)
Siapa, sih, yang bisa tahan
menanggung rindu? Gak ada… Efeknya, kalo gak sakit, ya mati, hahaha, eit jangan
protes dulu…, ada orang bilang begini: “Berat hati ini menanggung rindu, rindu
yang kian lama hendak membunuhku, membunuhku dalam kerinduan, kerinduan yang
membunuhku. Mati dalam kerinduan” Uyeeeee, segitunya, hehe. Tapi bener, lho,
yang namanya rindu memang susah diobati. Kalo kondisinya tambah parah,
bisa-bisa harus segera berurusan dengan psikiater terdekat di kota Anda,
hihihi. Tinggal tunggu hasil diagnosisnya dan silakan dibaca resepnya. Paling
dikasih obat penenang dosis tinggi, hehehe.
Ehm, cinta terlarang karena status
sosial, yah, akhirnya jadi begini ini, muruuuung terus, males makan, susah
tidur, dunia seakan tak berwarna, hambar. Lagi ngomongin siapa, sih? Aku? Hehe,
bukan…, tapi ini lho kucing punya tetangga, depan rumah. Gkgkgk.
Si Abang namanya, kucing kesayangan
Bunda Yhatie. Cinta Abang diduga akan segera kandas sebelum mekar dan bersemi
melewati musim hujan ini. Uhuk (keselek, dah). Cintanya pada Burik, kucing liar
tak bertuan dari kampung sebelah itu tak direstui Bunda Yhatie. Seharian ini
Abang mengalami hal terburuk yang paling dibencinya – Abang tak lagi bebas
berkeliaran di jalanan, Abang dikurung di rumah. Abang tak dapat lagi membuat
kerusuhan di atap rumah tetangga, tak lagi membuat kerepotan pengendara jalanan
akibat menyebrang sembarangan atau tawuran yang beresiko kemacetan di sepanjang
Gang Kucing seperti hari-hari sebelumnya. Waduh, kelewat dramatis nih, hehe.
*****
Abang benar-benar kesunyian… Abang
sedang menderita, menderita menanggung rindu, rindu pada Burik, kucing liar
dari kampung sebelah.
“Biasanya genting rumah saya bocor
setiap seminggu tiga kali!”
“Nah, saya kemarin hampir nabrak
pohon, banting setir waktu liat kucing-kucing nyebrang di jalan sana, waktu itu
Si Abang yang lagi kejar-kejaran.”
“Aduh ibu-ibu, Si Abang emang ude
wataknya begitu dari orok, bikin heboh terus.” Jelas Bunda Yhatie dengan
cueknya di sela protes ibu-ibu penghuni Gang Kucing. Bang Safri, tukang sayur
keliling yang kini dikerubuti ibu-ibu dari Gang Kucing itu cuma mesem-mesem
sambil melayani para pelanggannya. Aku memperhatikan dari kursi teras, sesekali
melongok ke dalam, Mama belum juga muncul.
Tak berapa lama, Mama ke luar,
menenteng dua keresek sampah dari dapur. Aku tergopoh membantu membawakan
sampah-sampah itu untuk dibuang ke TPS.
“Ee, Bu Ani… Sini gabung, Bu.” Sapa
Bunda Yhatie ketika melihat Mama menghampiri.
Aku melengang, menuju tempat
pembuangan sampah di seberang Gang Kucing. Sepagi ini hampir semua pekarangan
warga sudah tampil bersih, enak dipandang. Ada satu tanaman yang membuatku
berhenti ketika melewati pekarangan rumah Mama Okta. Ada pohon cabe yang warna
buahnya beragam warna. Sejenak aku melihatnya lebih dekat.
“Mau ke mana pagi-pagi, Al?” Sebuah
suara mengejutkanku.
“Ini mau buang sampah, Ma.” Kulihat
Mama Okta di pintu samping. “Tapi mau liat dulu ini nih, unik ya, Ma, pohon
cabenya.” Aku menunjuk pohon cabe yang berjejer cantik di dalam polybag.
“Oh, itu. Sini masuk dulu,
ngobrolnya di dalam. Mama Okta melambai padaku yang masih berdiri di balik
pagar rumahnya.
Aku kembali meneruskan perjalanan
setelah pamit dan berjaji akan mampir setelah kembali dari TPS.
Bisa dipastikan, warga sini memang
telaten mengurus segala sesuatu termasuk tanaman. Pohon-pohon rindang yang
berdiri di sepanjang jalan dengan jarak 6 meter antara pohon satu dengan pohon
lainnya memang sudah menjadi bagian dari perencanaan tata kota sebelumnya, eh
tata gang mungkin hehe. Sebagian besar cabang-cabang pohon berdaun lebat yang
menaungi pejalan kaki di sepanjang jalan gang ini hampir mirip boulevard, hanya
saja warga harus lebih rajin bekerja bakti membersihkan daun-daun kering yang
berjatuhan di sekitarnya. Aku semakin menyukai keunikan Gang Kucing beserta
seluruh isinya dibanding dengan tempat tinggalku sebelumnya.
“Al!” Seseorang memanggilku, aku
celingukan mencari si pemilik suara dan akhirnya kutemukan sosok Ratih dari
balkon rumahnya, masih lengkap dengan alat pel di tangan. Blacky, Ullie,
Ndundut, dan kucing-kucing peliharaan lainnya kulihat mondar-mandir tak jauh
dari situ.
“Hei!” Sahutku.
“Mau ke mana?” Tanya Ratih setengah
berteriak.
“Buang sampah ke depan.” Jawabku
seraya mengangkat tinggi dua keresek sampah di tanganku.
“Nanti siang ada di rumah, gak?”
Tanya Ratih lagi, lengannya bertumpu ke besi pembatas balkon.
Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat
sesuatu, kemudian menggelengkan kepala. “Gak ada, ke rumah aja, OK!”
“Sip.” Ratih mengacungkan jempol ke
arahku.
Semenjak kami tinggal di satu gang,
aku dan Ratih lebih akrab karena di sekitar sini hanya aku dan Ratih yang
terbilang masih seusia dari kalangan cewek, yang lainnya cowok-cowok dari
kostan Bu Haji Salamah, kebanyakan memang seusiaku, mereka juga – sebagian –
masih mahasiswa seangkatan dari fakultas pendidikan dan kedokteran, kami tidak
terlalu dekat, hanya jika ada acara yang diselenggarakan oleh para pengurus
Gang Kucing saja kami biasa kumpul, selain itu jarang banget. Oh iya, kudengar
ada salah satu penghuni kontrakan Bu Haji Salamah yang sedang menempuh
pendidikan di kedokteran hewan. Kata Mas Ari, dia masih anaknya kenalan Om
Yudith, yang dulu pernah aku ceritakan punya petshop dan observator kucing di
gang ini.
*****
Hufff
Kulempar begitu saja sampahnya ke
dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat keluar. Wih, kaget. Dan saat
itu juga memori di kepalaku segera mengingat sesuatu.
“Iya, Al. Biasanya diem di dekat TPS
itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama Burik. Gak bisa cari betina
yang agak manis dikit napa.”
Suara Bunda Yhatie beberapa hari
yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya, ini pasti yang namanya
Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini berdiri terpaku
menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan kembali menatapku
lagi.
“Sini, empush… push, push.” Aku
berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti memanggil ayam.
Dengan ragu, Burik mendekat,
mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di sana. Burik memang
kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran manjanya ketika kuelus
kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.
“Hoho, pantas saja Si Abang suka
sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus terus bulu-bulu abu Burik
yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat terlintas di benakku untuk membawa
Burik ke rumah, memeliharanya di rumah, namun ide itu segera kuhapus ketika
mengingat betapa Mama tidak akan setuju tentang itu. Dengan berat hati,
kutinggalkan Burik yang masih terbengong menatapku, sedikit kecewa karena aku
berhenti mangelusnya dan terus berlalu tanpa kembali menoleh padanya.
Bersambung....
Bunda Yhatie Suryo Lukman, Mama Okta
Leni, Ari Saputra, Ratih Nur Aini, ikut berperan lagi di cerita ini hehe
*****
0 komentar:
Posting Komentar