Rabu, 18 Maret 2015

0 komentar
GANG KUCING Bag. 3
(Abang Sayang#3)

Siapa, sih, yang bisa tahan menanggung rindu? Gak ada… Efeknya, kalo gak sakit, ya mati, hahaha, eit jangan protes dulu…, ada orang bilang begini: “Berat hati ini menanggung rindu, rindu yang kian lama hendak membunuhku, membunuhku dalam kerinduan, kerinduan yang membunuhku. Mati dalam kerinduan” Uyeeeee, segitunya, hehe. Tapi bener, lho, yang namanya rindu memang susah diobati. Kalo kondisinya tambah parah, bisa-bisa harus segera berurusan dengan psikiater terdekat di kota Anda, hihihi. Tinggal tunggu hasil diagnosisnya dan silakan dibaca resepnya. Paling dikasih obat penenang dosis tinggi, hehehe.

Ehm, cinta terlarang karena status sosial, yah, akhirnya jadi begini ini, muruuuung terus, males makan, susah tidur, dunia seakan tak berwarna, hambar. Lagi ngomongin siapa, sih? Aku? Hehe, bukan…, tapi ini lho kucing punya tetangga, depan rumah. Gkgkgk.

Si Abang namanya, kucing kesayangan Bunda Yhatie. Cinta Abang diduga akan segera kandas sebelum mekar dan bersemi melewati musim hujan ini. Uhuk (keselek, dah). Cintanya pada Burik, kucing liar tak bertuan dari kampung sebelah itu tak direstui Bunda Yhatie. Seharian ini Abang mengalami hal terburuk yang paling dibencinya – Abang tak lagi bebas berkeliaran di jalanan, Abang dikurung di rumah. Abang tak dapat lagi membuat kerusuhan di atap rumah tetangga, tak lagi membuat kerepotan pengendara jalanan akibat menyebrang sembarangan atau tawuran yang beresiko kemacetan di sepanjang Gang Kucing seperti hari-hari sebelumnya. Waduh, kelewat dramatis nih, hehe.

*****
Abang benar-benar kesunyian… Abang sedang menderita, menderita menanggung rindu, rindu pada Burik, kucing liar dari kampung sebelah.

“Biasanya genting rumah saya bocor setiap seminggu tiga kali!”

“Nah, saya kemarin hampir nabrak pohon, banting setir waktu liat kucing-kucing nyebrang di jalan sana, waktu itu Si Abang yang lagi kejar-kejaran.”

“Aduh ibu-ibu, Si Abang emang ude wataknya begitu dari orok, bikin heboh terus.” Jelas Bunda Yhatie dengan cueknya di sela protes ibu-ibu penghuni Gang Kucing. Bang Safri, tukang sayur keliling yang kini dikerubuti ibu-ibu dari Gang Kucing itu cuma mesem-mesem sambil melayani para pelanggannya. Aku memperhatikan dari kursi teras, sesekali melongok ke dalam, Mama belum juga muncul.

Tak berapa lama, Mama ke luar, menenteng dua keresek sampah dari dapur. Aku tergopoh membantu membawakan sampah-sampah itu untuk dibuang ke TPS.

“Ee, Bu Ani… Sini gabung, Bu.” Sapa Bunda Yhatie ketika melihat Mama menghampiri.

Aku melengang, menuju tempat pembuangan sampah di seberang Gang Kucing. Sepagi ini hampir semua pekarangan warga sudah tampil bersih, enak dipandang. Ada satu tanaman yang membuatku berhenti ketika melewati pekarangan rumah Mama Okta. Ada pohon cabe yang warna buahnya beragam warna. Sejenak aku melihatnya lebih dekat.

“Mau ke mana pagi-pagi, Al?” Sebuah suara mengejutkanku.

“Ini mau buang sampah, Ma.” Kulihat Mama Okta di pintu samping. “Tapi mau liat dulu ini nih, unik ya, Ma, pohon cabenya.” Aku menunjuk pohon cabe yang berjejer cantik di dalam polybag.

“Oh, itu. Sini masuk dulu, ngobrolnya di dalam. Mama Okta melambai padaku yang masih berdiri di balik pagar rumahnya.

Aku kembali meneruskan perjalanan setelah pamit dan berjaji akan mampir setelah kembali dari TPS.

Bisa dipastikan, warga sini memang telaten mengurus segala sesuatu termasuk tanaman. Pohon-pohon rindang yang berdiri di sepanjang jalan dengan jarak 6 meter antara pohon satu dengan pohon lainnya memang sudah menjadi bagian dari perencanaan tata kota sebelumnya, eh tata gang mungkin hehe. Sebagian besar cabang-cabang pohon berdaun lebat yang menaungi pejalan kaki di sepanjang jalan gang ini hampir mirip boulevard, hanya saja warga harus lebih rajin bekerja bakti membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan di sekitarnya. Aku semakin menyukai keunikan Gang Kucing beserta seluruh isinya dibanding dengan tempat tinggalku sebelumnya.

“Al!” Seseorang memanggilku, aku celingukan mencari si pemilik suara dan akhirnya kutemukan sosok Ratih dari balkon rumahnya, masih lengkap dengan alat pel di tangan. Blacky, Ullie, Ndundut, dan kucing-kucing peliharaan lainnya kulihat mondar-mandir tak jauh dari situ.

“Hei!” Sahutku.

“Mau ke mana?” Tanya Ratih setengah berteriak.

“Buang sampah ke depan.” Jawabku seraya mengangkat tinggi dua keresek sampah di tanganku.

“Nanti siang ada di rumah, gak?” Tanya Ratih lagi, lengannya bertumpu ke besi pembatas balkon.

Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat sesuatu, kemudian menggelengkan kepala. “Gak ada, ke rumah aja, OK!”

“Sip.” Ratih mengacungkan jempol ke arahku.

Semenjak kami tinggal di satu gang, aku dan Ratih lebih akrab karena di sekitar sini hanya aku dan Ratih yang terbilang masih seusia dari kalangan cewek, yang lainnya cowok-cowok dari kostan Bu Haji Salamah, kebanyakan memang seusiaku, mereka juga – sebagian – masih mahasiswa seangkatan dari fakultas pendidikan dan kedokteran, kami tidak terlalu dekat, hanya jika ada acara yang diselenggarakan oleh para pengurus Gang Kucing saja kami biasa kumpul, selain itu jarang banget. Oh iya, kudengar ada salah satu penghuni kontrakan Bu Haji Salamah yang sedang menempuh pendidikan di kedokteran hewan. Kata Mas Ari, dia masih anaknya kenalan Om Yudith, yang dulu pernah aku ceritakan punya petshop dan observator kucing di gang ini.

*****
Hufff

Kulempar begitu saja sampahnya ke dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat keluar. Wih, kaget. Dan saat itu juga memori di kepalaku segera mengingat sesuatu.

“Iya, Al. Biasanya diem di dekat TPS itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama Burik. Gak bisa cari betina yang agak manis dikit napa.”
Suara Bunda Yhatie beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya, ini pasti yang namanya Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini berdiri terpaku menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan kembali menatapku lagi.

“Sini, empush… push, push.” Aku berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti memanggil ayam.

Dengan ragu, Burik mendekat, mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di sana. Burik memang kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran manjanya ketika kuelus kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.

“Hoho, pantas saja Si Abang suka sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus terus bulu-bulu abu Burik yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat terlintas di benakku untuk membawa Burik ke rumah, memeliharanya di rumah, namun ide itu segera kuhapus ketika mengingat betapa Mama tidak akan setuju tentang itu. Dengan berat hati, kutinggalkan Burik yang masih terbengong menatapku, sedikit kecewa karena aku berhenti mangelusnya dan terus berlalu tanpa kembali menoleh padanya.

Bersambung....

Bunda Yhatie Suryo Lukman, Mama Okta Leni, Ari Saputra, Ratih Nur Aini, ikut berperan lagi di cerita ini hehe
*****

0 komentar:

Posting Komentar