– Minggu mendung –
Tidak seperti biasanya. Gang Kucing
tampak lengang. Gemericik hujan dan cuaca dingin akhir-akhir ini cukup ekstrim.
Warga ogah sekali penampakan di luar rumah. Aktivitas keluar sebisa mungkin
dibatasi, seperlunya saja.
Supaya omset tetep normal, Bang Ainu
dan kawan-kawan pengelola kafe di ujung gang itu sampe nerima pesanan antar
alias delivery order untuk pelanggan setia kafenya. Tinggal pesan lewat SMS,
lima menit kemudian, “Spadaaaaa….” Pesanan tiba. Dan yang lebih asiknya,
pembayaran di atas seratus ribu bisa ditransfer via rekening online. Walhasil,
kafe bang Ainu malah tambah laris saja.
“Oke, oke, agak siangan dikit. Aku
belom mandi, nih, hehe.”
“Yasud, ditunggu bingit.”
“Sipppp.”
“Awas lo telat.”
“Okkkeeee…”
Tut tut tut. Sambungan terputus.
Buru-buru kuhabiskan bubur ayam spesial pesananku kemudian segera ke kamar
mandi.
Belum sampai satu menit, aku sudah keluar lagi.
Belum sampai satu menit, aku sudah keluar lagi.
“Hih, dinginnnn.”
Celingukan. Airnya memang dingin
banget, tapi gak mungkin kalo kagak mandi.
“Pake aer anget sana.” Mama kurang
setuju kalau anaknya keluyuran sebelum mandi.
“Kayak Si Ucil aja, Ma, mandi pake
aer anget.” Protesku, tapi akhirnya ke dapur juga, masak air.
*****
Tadaaaa… Jaket bulu, sepatu kets, kerudung kaus, jeans gombrong, rasanya sudah lengkap menahan cuaca dingin di luar sana.
Tadaaaa… Jaket bulu, sepatu kets, kerudung kaus, jeans gombrong, rasanya sudah lengkap menahan cuaca dingin di luar sana.
Langit begitu sunyi. Scoopy
kesayanganku meluncur mulus menyusuri Gang Kucing. Pukul sepuluh aku harus
sudah sampai di acara pagelaran sastra. Ada puisi yang harus kubaca. Telat
sedikit, panitia pasti heboh.
“Lima belas menit lagi.” Bisikku,
sekilas kulirik arloji di pergelangan.
Akibat lirik-lirikan begitu, hampir saja aku menabrak sesuatu. Motor scoopy-ku berdecit. Beberapa kucing melintas di depanku.
Akibat lirik-lirikan begitu, hampir saja aku menabrak sesuatu. Motor scoopy-ku berdecit. Beberapa kucing melintas di depanku.
“Abaaaaang!” Satu teriakan membuatku
menengok ke arah suara. Bunda Yathie tampak berdiri di balik pagar.
“Hadeh, hampir ketabrak. Tawuran
lagi ya, Bun.”
“Iya, duh, Si Abang emang doyan
banget tawuran. Kemana lagi dia?” Bunda Yathie berjinjit-jinjit melihat ke arah
larinya Si Abang, kucing kesayangannya itu.
Aku geleng-geleng.
*****
Bersambung….
Bersambung….
0 komentar:
Posting Komentar