GANG
KUCING Bag. 3
(Abang
Sayang#4 Selesai)
Cuplikan
episode sebelumnya:
Hufff
Kulempar
begitu saja sampahnya ke dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat
keluar. Wih, kaget. Dan saat itu juga memori di kepalaku segera mengingat
sesuatu.
“Iya, Al.
Biasanya diem di dekat TPS itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama
Burik. Gak bisa cari betina yang agak manis dikit napa.”
Suara
Bunda Yhatie beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya,
ini pasti yang namanya Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini
berdiri terpaku menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan
kembali menatapku lagi.
“Sini,
empush… push, push.” Aku berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti
memanggil ayam.
Dengan
ragu, Burik mendekat, mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di
sana. Burik memang kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran
manjanya ketika kuelus kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.
“Hoho,
pantas saja Si Abang suka sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus
terus bulu-bulu abu Burik yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat
terlintas di benakku untuk membawa Burik ke rumah, memeliharanya di rumah,
namun ide itu segera kuhapus ketika mengingat betapa Mama tidak akan setuju
tentang itu. Dengan berat hati, kutinggalkan Burik yang masih terbengong
menatapku, sedikit kecewa karena aku berhenti mangelusnya dan terus berlalu
tanpa kembali menoleh padanya.
*****
Haaaah,
liburan begini enaknya genjrang-genjreng di kamar, pasang sound system super
nge-bass. Yeah! Buang sampah udah kelar. Oiya, mau mampir dulu ke rumah Mama
Okta, penasaran sama tanaman-tanaman tadi, eh, apa namanya? Hoho, gini-gini
juga aku sempat tertarik masuk fakultas pertanian, lho, tapi entah, malah nyasar ke jurnalistik.
Bersamaan
langkahku yang luar biasa penuh semangat, tiba-tiba seorang pemuda jangkung
berkaca-mata memanggilku. Aku menengok.
“Permisi!
Eh, numpang tanya!” Katanya dengan logat jawa kental, kemudian tergesa-gesa
menghampiriku seraya melepas sebelah alat dengar yang menyumbat telinganya.
Senyum ramahnya segera kusambut.
“Ya.
Kenapa, Mas?” Aku menatapnya lekat.
“Ini,”
segera dirogohnya selembar kertas dari dalam saku celananya, kemudian
disodorkan padaku, “Maaf, tau alamat ini, ndak?”
Aku
beralih, memeriksa alamat yang tertulis di kertas itu. Sejurus kemudian,
mulutku membulat lebar. “Oooo… Aku tau, ayok aku tunjukkin.” Kataku memberi
isyarat supaya dia mengikuti.
“Oh?
Baik.” Air mukanya tampak sumringah.
Ah,
jalanan masih sepi. Mas Ari and the gank belum penampakan di posko depan gang.
Biasanya suka kumpul-kumpul begitu. Ngakunya sih rapat, gak tau rapat apaan di
posko. Hehe, perasaan sering banget acara rapatnya tu orang, Hihi.
Satu dua
kulewati rumah warga. Jadi teringat Mpok May, sudah lama pulang kampung, sampe
gini hari belom balik juga, padahal aku dan Ratih hobi banget mangkal di teras
rumahnya. Huhu, jadi kangen. Kata Mba Fitri yang tinggal di dekat kostan Bu
Haji Salamah sono, Mpok May perginya subuh-subuh gitu, sih, jadi gak sempet
pamitan ke semua tetangga, cuman waktu itu kebetulan aja suaminya Mbak Fitri
udah petantang petenteng di halaman, ketemu dulu deh sama Mpok May.
“Al! Mao
kemana lagii??” Et, dah, suara Ratih lagi. Aku celingukan.
“Ke rumah,
lah. Kan baru buang sampah. Entar siang ditunggu, yak.”
Ratih
mengangguk dari balkon rumahnya, kemudian melirik penuh tanda tanya pada sosok
di belakangku.
“Ouh!”
Haha, aku baru inget ada orang di belakangku sejak tadi.
“Mas ini
tamunya Mama Okta! Haha.” Aku cekikikan, memberitahu asal-usul pemuda yang baru
beberapa menit tadi bersamaku. Ngelamun kemana-mana sampai lupa sesuatu. Wkwkwk
Mas-mas di
belakangku tersenyum dan mengangguk ke arah Ratih. Dia mulai mesem-mesem
begitu, ah, aku tebak seandainya gak ada orang di sini udah pasti dia ngakak,
atau seandainya dia udah akrab banget sama aku paling-paling kepalaku sudah
jadi sasaran empuk jurus jitaknya. Tapi syukurlah, kejadiannya gak sampe
begitu.
Ratih
balas tersenyum. Jaim. Hehe.
“Udah, ah.
Cus dulu nih.”
“Oke.”
Tak lama,
kami sampai di depan pagar rumah mama Okta. Kulihat seseorang di halaman.
“Misi, Om.
Ada tamu, nih!” Seruku.
*****
Bang Safri
sudah kembali mendorong gerobak sayurnya. Itu artinya para ibu sudah kembali ke
habitatnya masing-masing, kegiatan rumpi sudah berakhir. Hehe, memang begitu
kegiatan ibu-ibu, gak cuman di filem-filem aja, yang namanya acara beli sayuran
sudah pasti kagak rame kalo tanpa bumbu berupa obrolan seputar kehidupan rumah
tangga. Dari mulai suami, anak, cucu, cicit, tetangga samping kiri, tetangga
samping kanan, depan, belakang, semua kesebut. Lha, anehnya di sini: sampai
berita kelahiran kucing aje sampe jadi hot news. Haha, di mana lagi keunikan
ini terjadinya kalo bukan di Gang
Kucing.
“Abaang!!”
Nah, kalo yang ini pasti teriakan khas milik Bunda Yhatie. Aku merandeg.
“Kabur
lagi dia!”
Aku berdiri,
melihat sedikit keributan dari balik pintu pagar Bunda Yhatie. Rupanya Abang
menyelinap kabur saat pintu rumahnya terbuka. Lantas sosok berbulu abu itu
melarikan diri, hampir bertabrakan denganku.
“Kemana
dia perginya, Al?” Bunda Yhatie melihat padaku, wajahnya terlihat agak kesal,
dipandanginya semak-semak di samping rumah.
“Ke sana,
Bunda.” Telunjukku segera memberi tahu ke mana arahnya Si Abang pergi. Ke luar
gang. Barangkali menuju ke TPS di depan sana. Ketemuan sama pacarnya, Si Burik.
Trus entar mereka nangis-nangis Bombay gitu kayak di filem Rano Karno. Lho?
Bunda
Yhatie hanya geleng-geleng melihat aksi kucing semata wayangnya itu.
“Tadi
pacarnya Si Abang ada tuh di TPS. Hehehe.”
“Si
Burik?”
“Iya,
Bun.”
“Ckckck.”
“Kasian,
Bun. Biarin aja…” Usulku membuat Bunda Yhatie tertegun lalu menarik napas
berat.
Aku segera
pamit dan berlalu. Rencana teriak-teriak sambil bunyiin musik keras-keras harus
segera terealisasi.
*****
Betul
sekali dugaan Bunda Yhatie. Abang tidak pernah mau pulang setelah aksi
pelariannya kemarin. Sampai akhirnya pada suatu sore, Si Abang nongol juga di
teras, bawa pacarnya juga, gak cuma Burik yang nangkring di situ, masih ada
satu betina lagi. Total semuanya bertiga. Nah, terus… yang ngedeprok di atas
pagar tembok itu masih pacarnya juga? Ah, iya berarti lagi berempat... Eh,
tapi… diam-diam ada sepasang mata betina memperhatikan dari luar pagar.
Duh, duh…
Si Abang…
Selesai
*****
Tunggu
serial Gang Kucing di edisi berikutnya ;)
Trims buat
para pemeran: Koh YumeDha SinoShuke pemeran baru di Gang Kucing, Ratih Nur
Aini dan kucing-kucingnya di balkon rumah hehe, Ari Saputra dan kawan-kawan
tongkrongannya di posko depan Gang Kucing, Mama Okta Leni yang punya Muty sama
Ucil, Bunda Yhatie Suryo Lukman yang punya Si Abang, Mbak Fitri Anggriani
yang punya Mboth, Mpok May yang entah pergi ke mana, aku kangennnn, rumah di
Gang Kucing kosong terus tuh Mpok...