Kamis, 29 Januari 2015

0 komentar


HANS (Melodi Hitam-Putih)
Oleh Al-Liana Nores
*****
“Apa yang bisa saya bantu, Non?”

Sejenak, aku beralih dari teh manis pesananku. Dia tersenyum manis. Ah, hujan siang ini membantai rencanaku yang sebenarnya. Harusnya Novi turut datang ke kafe ini, tapi… “Sorry, bro, aku masih flu, di luar hujan tambah gede, mana bisa capcuz.” Suara sengau Novi di sebrang telpon tidak meyakinkanku kalo dia cuma cari-cari alasan.

“Habiskan dulu aja.” Kataku melempar pandang ke luar, mencoba tak bertemu pandang dengannya.

“Oh iya, kalo makan jangan bersuara, ya, Ustadzah.” Godanya. Aku yakin duaratus persen matanya sedang tertuju padaku. Kubenarkan letak kacamata.

“Bukan begitu, aku kurang bisa konsentrasi kalo ngobrol serius sambil makan.” Sergahku beralasan. Dia mengangguk, masih dengan senyumnya yang misterius. Ih.

Cuek, kuhabiskan bakwan favoritku.

Lima menit yang lalu kami bertemu untuk pertama kali. Hans yang selama ini kukenal hanya lewat pesan singkat dan telpon akhirnya ditakdirkan bertemu langsung denganku.

Sambil sesekali mengamati keadaan di luar, ingatanku merangsek masuk ke enam bulan sebelumnya, bagaimana kami bisa saling kenal.

…………..

“Oke, ada SMS masuk, kita bacain lagi: Haiii aku Ali, buat temen-temen yang hobi nulis and mau diajak share, boleh deh, hubungin aku di nomor bla bla bla.” Suara penyiar radio malam itu membacakan SMS dariku, aku semakin bersemangat menantikan detik selanjutnya. Apa yang terjadi? Tiba-tiba handphone-ku mulai ramai berbunyi. SMS, telpon, semua masuk dari puluhan nomor baru. Semalaman aku jadi customer service dadakan.

Tapi, buset. Kebanyakan mereka hanya iseng, main-main, padahal aku serius cari teman di bidang kepenulisan.

Dari sekian ratus telpon dan pesan yang masuk, cuma ada dua orang yang aku nyatakan ‘sesuai ketentuan’, selebihnya ngaco semua, ada yang ngajak jalan, ngajak pacaran, ngajak ketemuan gak jelas, dan yang paling parah: ngajak nikah. Enak aja!

“Maaf, Mas. Mas salah orang.”

“Nggak, ah, kan tadi denger nomor kamu dibacain di radio.”

“Iya, Mas bener, tadi nomor aku memang dipos di radio, tapi buat nyari temen yang suka nulis,” jelasku,  “Bukan buat nyari pacar atau jodoh.” Tambahku berusaha sabar.

“Iya, tau,”

“Nah, lalu?”

“Aku emang gak terlalu bisa nulis, makanya lagi cari cewek yang hobi nulis.”

“Oh.” Kataku, sesaat otakku mendeteksi sinyal positif.

“Mas ini dari penerbit atau apa? Mau cari penulis buat apa?” tanyaku bersemangat.

“Ehm, sebenernya sih mau nyari cewek buat nulis-nulis pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga, hehehe.” Duengggg! Hampir pingsan beneran aku.

Klik. Call ended.

Blacklist! Kulempar handphone-nya lalu tidur.

Pagi harinya. Kupikir cara semalam kurang efektif, nyari teman yang hobi nulis di kota yang sama seharusnya bukan dari radio, harusnya aku nyari organisasi kepenulisan aja. Tadinya sih cuma nyoba, siapa tau bisa nemu. Eh, taunya. Apes.

“Hahaha, mampus lu. Nyari temen penulis di acara biro jodoh! Hahaha.”

“Rese, ah.” Aku cemberut. Novi jelas bahagia banget mendengar nasib burukku semalam. Kirain gak cuma buat nyari jodoh. Ah, penyiarnya juga yang salah, padahal gak usah dibacain aja SMS-nya. Wah, kacau, kacau.

“Tapi aku dapet dua orang yang suka nulis, kok.” Senyum lebarku membekap tawa Novi.

“Heh? Siapa?” Novi menyelidik, masih dengan sisa tawanya.

Aku bersiap berdiri, lalu menjawab sebelum pergi, “Adda, deeeeh….”

Novi bergegas mengikutiku menuju koridor lain. “Dua orang? Cewek? Cowok?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum.

*****
Yang satu, namanya Maria. Hobi banget nulis. Setelah beberapa kali komunikasi via telpon, akhirnya kami mulai bertemu di acara kerohanian. Beberapa kali kuajak dia untuk ikut di kegiatan tarbiyah, satu organisasi dakwah besar di kota ini yang paling getol aku ikuti.

Maria, cewek manis yang menyimpan banyak kerapuhan. Maria sering curhat soal tunangannya. Maria sering nangis-nangis waktu aku telpon. Ckckck.

Setiap janji ketemuan, aku selalu berpesan supaya karya tulisnya dibawa serta. Kubaca semua tulisannya. Satu bundel tulisan Maria, semua tentang cinta. Hadeh, hadeh… tepok jidat. Itu di luar kemampuanku, hehehehe.

“Aku tau, Al, dia itu sering bohongin aku… tapi aku nggak tau, aku gak bisa bales perlakuan dia, aku sayang sama dia, Al.” Lirih suaranya bermain di gendang telingaku. Seperti biasa, orang yang tidak punya pengalaman soal cinta ini hanya mendengarkan dan mengangguk-angguk saja.

“Punya fotonya?” tanyaku. Setelah ngobrol banyak tentang pria pujaan hatinya, aku jadi penasaran, seperti apa sih tampang pria menyebalkan sekaligus cinta matinya si Maria ini.

“Ada.” Cepat-cepat Maria merogoh sesuatu dari dalam tas. Sebuah dompet bermotif bunga-bunga emas dibukanya, tak lama, selembar foto disodorkannya padaku.

Aku mendelik kaget.

“Aku cinta dia, Al. terserah orang mau bilang apa.” Kata-katanya mengurungkan niatku untuk menyampaikan pendapat.

Kulihat foto pria yang sedang berpose dengan Maria. Kalo Maria tidak pernah memberi tahu siapa orang itu, mungkin aku sudah mengira pria itu cuma pamannya atau kakak tertuanya.

“Kenapa, Al?” Maria tersenyum, seolah tau apa yang sedang kupikirkan. Aku balas tersenyum.

“Kami beda sebelas tahun.” Akunya. Aku tambah kaget.

Maria dengan cinta butanya diam-diam menjadi buah pikiranku. Secara logis, baru ngeliat foto tunangannya itu, harusnya Maria mikir seribu kali. Pria udah tua, banyak tingkah. Huh. Kebangetan aja tuh. Nyari lagi, dong, emang gak ada gitu? Putusin aja… gampang, kan? Eh, iya, kan dia udah bilang ratusan kali kalo pria itu cinta matinya? Hadeh… Emmm, apa mungkin Maria kena pelet!? Huahaha, tumben aku percaya sama hal-hal begituan, hehehe, ehmm… lalu? Apa sih yang bikin pria itu dipuja-puja gadis semanis dan semuda Maria? Aaaaah, pusing! Kenapa semuanya di luar jangkauan otakku??! Hatiku nyerocos sewot. Gak adil, masak sih orang sebaik Maria ini dapet pasangan kayak begitu.

“Cinta gak selalu pake otak, cinta yang sebenarnya… ya pake hati.” Begitu kata temanku di kampus.

“Iya deh, iya…” Aku angkat tangan. Kalah debat.

Tak kusangka, itu adalah pertemuan terakhirku dengan Maria. Komunikasi kami terputus semenjak nomornya tidak lagi aktif. Akun facebooknya juga bak kuburan, sunyi. Dia benar-benar menghilang.

*****
Satu lagi, namanya Hans. Karya tulisnya kebanyakan puisi. Dia gemar nulis lirik lagu. Dia punya grup band. Dia drummer. Satu lagi yang aku tau tentang Hans, dia pernah masuk rumah sakit karena ‘Over Dosis’. Karena hal yang terakhir inilah, aku berada di sini dengannya, dalam rangka observasi participant, tugas pengamatan yang kuemban dari Mister Pujobuwono, dosen favoritku di kampus. Hasil observasinya harus dibuat laporan tertulis dengan judul gede-gede: LAPORAN HASIL OBSERVASI, ditambah judul kecil yang ditentukan oleh masing-masing pelaku pengamatan atau observer. Sebagian temanku ada yang melakukan observasi ke tengah kawasan pergaulan waria, rata-rata pertemuan dilakukan di salon tempat kebanyakan waria itu bekerja. Ada yang melakukan observasi ke tengah pergaulan anak jalanan, dengar-dengar ada juga yang masuk ke kawasan prostitusi, dan lain sebagainya. Setelah dipikir-pikir, aku lebih memilih masuk ke kawasan pemakai narkoba. Eit, memang, memang, aku sadar ini sangat beresiko, tapi aku yakinkan sekali lagi, semua akan baik-baik saja, setidaknya perasaanku sendiri yang berkata demikian. Kebetulan aku sudah lebih dulu kenal dengan seseorang yang punya pengalaman seputar narkoba, meskipun baru kali ini bertemu langsung. Dari sekian banyak obrolan lewat maya, akhirnya kami bertemu pandang. Ini dia orangnya, Hans. Hoho, lihat saja, setelah hasil observasinya kelar nanti, Pak Pujo bakalan berdecak kagum dan mau tidak mau harus rela menuangkan huruf A di samping kolom namaku, hehehe.

“Sudah bisa dimulai?”

Tiba-tiba suara Hans memecahkan tayangan film verdanaku di meja dosen.

“O, em, iya,”

Hans tersenyum. Aaah… ni orang doyan banget senyum-senyum.

“Aku pikir kamu gak berkerudung, maaf soal penampilanku.” Hans berbasa-basi.

“Ah… haha, biasa aja lagi.” Kataku mencairkan suasana. Setiap berbicara di telpon, memang kami tidak pernah menyinggung tentang penampilan. Yang dia tau soal aku, aku kerja di pabrik kertas, hehehe ngibul, dikit... hehe.

Masih terbayang saat tadi dia celingukan di depan kafe, mencari-cari sosokku. Aku yang lebih dulu mengenali dan menyapanya karena sebelumnya Hans menyebutkan ciri-cirinya, dia memakai anting di telinga kiri, rambut sebahu, pakai kaus hitam pendek (bergambar samurai), pakai blue jeans selutut. Dan yang tidak disebutkannya, soal tattoo naga di pergelangan tangannya.

“Aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku senang bisa kenal orang banyak dari berbagai latar belakang,” ucapku meyakinkan, “Kecuali masuk komunitas wanita jadi-jadian.” Lanjutku dalam hati. Hans mengangguk senang.

“Kamu sering ke kafe ini?” Tanya Hans, mengalihkan pembicaraan kami. Aku melihat ke luar, “Ya.”

Hujan masih deras.

“Hujan begini pasti lama, jadi bisa lama kita ngobrol.” Hans menatapku.

“Mudah-mudahan nggak lama.” Sahutku.

“Hehe, kamu gak takut, kan, sama aku?” Hans menatap dalam-dalam padaku, seolah ingin tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya saat itu.

“Takut? Kenapa harus takut? Sama buaya, sih, iya.”

Hans tertawa, “Bukan begitu… maksudku, kamu lihat penampilanku? Kamu gak takut dirampok atau diculik?” godanya, tapi dengan nada serius. Mungkin dia sadar, tampangnya boleh dibilang masuk kategori tampang kriminal.

“Hmmm, asal tau aja, aku jago karate.” Kataku, pasang muka sangar.

“Oh…” Dia manggut-manggut. “Oke…” senyumnya dikulum.

Ah, lagian siapa bisa jamin, seandainya sekarang dia rapi kelimis, trus orang harus percaya aja gitu kalo dia orang baik? Detik ini aku lebih percaya pada kata hatiku sendiri. Insya Allah dia gak bakal macem-macem. Intuisiku berkata, aku aman.

“Semenjak kamu bilang kalo kamu… gak suka sama….” aku berhenti, kulihat air mukanya, tenang, “Aku pikir kamu gak bakal macem-macem.” Lanjutku jujur. Dia mengangguk paham. Hans pernah cerita soal ketertarikannya pada sesama jenis. Dan karena ketertarikannya itu pada sesama jenis, Hans mencoba menghubungi nomor yang kuposting di radio dulu. Dia kecele, ternyata ‘Ali’ yang disebutkan oleh penyiar radio itu bukan cowok, hhehehe. Seandainya aku terus menolak mengangkat telpon darinya, mungkin baru sekarang ini dia tau siapa aku yang sebenarnya. Awalnya dia sama sekali tidak percaya. Kalau saja Hans termasuk tipe cowok genit seperti kebanyakan penelpon di malam menyebalkan itu, sudah pasti aku jaga jarak sejauh mungkin. Tapi dengan Hans, aku gak ambil pusing.

“Sekarang aku sudah mulai suka sama lawan jenis.” Senyumnya mengembang. Kuabaikan pengakuannya barusan.

“Hans.” Aku memulai serius. Dia mengangkat dagu, melihat padaku.
Aku mulai menjelaskan tentang maksudku menemuinya. Banyak hal yang ingin kuketahui tentang sosok sepertinya. Kusampaikan, dia boleh menolak menjawab pertanyaanku jika dirasanya terlalu privacy. Namun, tidak begitu sulit mengajaknya bekerja sama. Dia cukup terbuka. Tentang sejak kapan bergaul dengan narkoba, bagaimana dia mentato tubuhnya, tentang anting-anting yang dikenakannya, tentang teman-teman sepergaulannya, tentang kuliahnya yang kandas di tengah jalan, tentang kenapa dia lebih suka dengan sesama jenis, berkali-kali dia tegaskan bahwa sekarang dia sudah mulai suka dengan lawan jenis. “Syukur, deh.” Pikirku.

Dia mengaku, sungguh sulit berupaya berhenti dari obat-obatan. Tapi setelah masuk rehabilitasi, setahap demi setahap dia mulai terbiasa tanpa narkoba.

Sambil menunggu hujan reda, kami mengobrol banyak di luar topik yang kumaksud..

“Minggu depan ada konser musik underground. Aku maen. Tempatnya di Gor Republik. Kamu datang, ya, nanti aku titip kamu ke teman-temanku di sana.” Pintanya.

“Lho? Aku dititipin? Maksudnya?”

“Kamu gak mau diganggu orang-orang mabok, kan?”

“Hooo? Gak, lah. Memang banyak orang mabok, ya?”

“Emmm, bukan, memang begitu tiap ada konser, gak peduli konser musik apa, keributan pasti ada. Iya, kan.” Jelasnya.

“Oke, pastikan aja nanti aku aman di sana.”

“Beres, Non.” jawabnya enteng.

****
Minggu depannya. Aku benar-benar datang.

Aku merapat ke dekat tiga orang berseragam polisi. Terlalu banyak pasang mata memperhatikan kehadiranku. Aku satu-satunya perempuan berkerudung di tengah ratusan penonton perempuan yang notabene punya ciri-ciri penampilan seperti Hans: bertato, bertindik.

Aku tidak datang sendirian. Kuajak Rika, teman semasa SD dulu, dia tomboy, lebih tomboy dariku, banyak orang terkecoh mengira dia laki-laki.

Berbagai pemandangan asing di sekitarku membuat aku semakin asik memperhatikan. Diam-diam kuambil beberapa gambar, lalu mengambil sebuah buku kecil.

“Maaf. Ali, ya?” Seorang pria tiba-tiba menghampiriku.

Aku berhenti menulis. “Iya.” Jawabku seraya menatapnya lekat-lekat, mencoba mengingat sesuatu.

“Oh, ayo di sana saja biar bisa duduk-duduk.” Ajak pria itu, menunjuk ke bagian belakang dekat pintu keluar.

“Mas ini siapa? Aku gak apa-apa, di sini aja deh,” Tolakku halus, masih bertanya-tanya dalam hati, kok dia tau siapa namaku? Rika mengalihkan perhatiannya pada pria asing di sampingku ini yang tiba-tiba mengajakku pergi ke tempat lain.

“Haha, aku temannya Hans.” Pria itu tergelak menyadari kehati-hatianku, “Aku Revan,” diulurkannya lengannya padaku. Aku tersenyum, merapatkan kedua telapak tangan lalu membungkuk sopan.

“Oh, maaf.” Cepat-cepat dia meniru gerakanku, persis seperti yang dilakukan Hans ketika pertama bertemu.

“Ayo kita ke sana.” Ajaknya lagi. Rika menyambut uluran tangan Revan, aku mengangguk mengiyakan.

“Ayo.” Ajakku pada Rika.

Acaranya sebentar lagi dimulai. Aku sengaja datang lebih awal supaya gampang mengenali situasi dan kondisi. Awalnya memang lumayan risih, tapi setelah beberapa orang teman Hans menyapaku, perasaan asingku sedikit demi sedikit hilang begitu saja. Aku punya banyak teman baru.

Watak ‘Knowing Every Particular Object’-ku bisa jadi penyebab obrolan kami gak ada habisnya. Revan dan teman-teman Hans lainnya dengan senang hati menjawab setiap keingintahuanku tentang dunia mereka, “Dunianya orang-orang bebas.” Kata Rika.

Hentakan-hentakan keras deras bertalu diiringi lengking menyayat memenuhi seluruh penjuru gedung setinggi 40 kaki ini. Sambil mengamati, diam-diam kutulis semua yang kulihat:

Perempuan cantik berambut coklat di dekat stage itu terlihat begitu menikmati permainan musik yang sedang berlangsung, sesekali mulutnya menghisap dan menghembuskan kembali kepulan asap rokok dari sela jemarinya yang putih.

Orang-orang berdesakan di depan stage, menggerak-gerakkan tubuhnya dengan gerakan liar.

Kumpulan pria berambut gimbal dan berambut ala punkers tak luput dari pengamatanku. Gelak tawa mereka terdengar samar dari jarak sekian puluh meter dariku. Mereka terlihat akrab satu sama lain.

Seorang bapak tua tidak pernah terusik dengan suasana berisik di dalam sini, ia terus melayani para pembeli minuman di dekat pintu masuk sebelah kiri.

Seorang pria kurus penjual merchandise sibuk merapikan barang-barangnya.

Rika, temanku yang berusaha menghalau kebosanannya dengan bersandar dan memenuhi ruang dengarnya dengan musik kesukaannya lewat headset.

*****
Aku tidak sempat pamit langsung pada Hans. Dia terlalu sibuk di belakang stage.
Malamnya, ketika aku masih berkutat dengan tugas, Hans menelpon.

“Tadi kamu pulang jam berapa?”

“Oh, aku gak pulang sampai selesai, soalnya Rika ngajak pulang duluan. Maaf aku gak pamitan langsung.”

“Gak apa-apa. Gimana tadi?” Tanyanya lagi.

“Yah, lumayan, tambah wawasan, hehe.” Jawabku, “Makasih atas bantuannya, doain biar aku dapat nilai A.”

“Sip…”

Sesaat setelah kututup pembicaraan kami, satu pesan masuk ke nomorku.

Kubaca. Rupanya dari Hans.

“Dari seluruh yang kamu lihat hari ini, semoga kamu tidak termasuk bagian dari orang-orang semacam aku. Kumohon, jangan jadi orang seperti aku.”

Aku terpaku. Memandangi setiap kata yang tersirat dari dasar hatinya.

Dulu, saat pertama kali dia membuat pengakuan bahwa dia adalah mantan pemakai narkoba, jelas aku kaget.

(“Kenapa? Kamu jijik, ya, sama aku?” Tanya Hans waktu itu.)

Kuketik pesan balasan untuknya.

“Tapi aku mau, kok, jadi orang yang selalu menyadari dan mengakui setiap keburukannya sendiri. Seperti kamu.”

Sending. Failed.

Pesan gagal terkirim. Pulsaku habis. Hff.

*****
Semua yang kulihat adalah bagian dari ciptaan-Nya, seperti apapun itu, seperti apapun mereka, seburuk apapun itu. Allah yang begitu kaya akan karya ciptaNya, menciptakan beraneka ragam makhluk, tidak selalu dibuatnya rupa dan hati yang elok menurut pandangan manusia. Ada malaikat, ada setan. Semua merupakan pelajaran bagi sesiapa yang mau berpikir. Aku merasakan diriku begitu dekat dengan Sang Maha Karya.

HANS – Melodi Hitam-Putih (Diambil dari ‘Catatanku’ @Sukabumi 2012)

Read more...