HANS (Melodi Hitam-Putih)
Oleh Al-Liana Nores
*****
“Apa yang bisa saya bantu, Non?”
Sejenak, aku beralih dari teh manis pesananku. Dia tersenyum
manis. Ah, hujan siang ini membantai rencanaku yang sebenarnya. Harusnya Novi
turut datang ke kafe ini, tapi… “Sorry, bro, aku masih flu, di luar hujan
tambah gede, mana bisa capcuz.” Suara sengau Novi di sebrang telpon tidak
meyakinkanku kalo dia cuma cari-cari alasan.
“Habiskan dulu aja.” Kataku melempar pandang ke luar,
mencoba tak bertemu pandang dengannya.
“Oh iya, kalo makan jangan bersuara, ya, Ustadzah.” Godanya.
Aku yakin duaratus persen matanya sedang tertuju padaku. Kubenarkan letak
kacamata.
“Bukan begitu, aku kurang bisa konsentrasi kalo ngobrol
serius sambil makan.” Sergahku beralasan. Dia mengangguk, masih dengan
senyumnya yang misterius. Ih.
Cuek, kuhabiskan bakwan favoritku.
Lima menit yang lalu kami bertemu untuk pertama kali. Hans
yang selama ini kukenal hanya lewat pesan singkat dan telpon akhirnya
ditakdirkan bertemu langsung denganku.
Sambil sesekali mengamati keadaan di luar, ingatanku
merangsek masuk ke enam bulan sebelumnya, bagaimana kami bisa saling kenal.
…………..
“Oke, ada SMS masuk, kita bacain lagi: Haiii aku Ali, buat
temen-temen yang hobi nulis and mau diajak share, boleh deh, hubungin aku di
nomor bla bla bla.” Suara penyiar radio malam itu membacakan SMS dariku, aku
semakin bersemangat menantikan detik selanjutnya. Apa yang terjadi? Tiba-tiba
handphone-ku mulai ramai berbunyi. SMS, telpon, semua masuk dari puluhan nomor
baru. Semalaman aku jadi customer service dadakan.
Tapi, buset. Kebanyakan mereka hanya iseng, main-main,
padahal aku serius cari teman di bidang kepenulisan.
Dari sekian ratus telpon dan pesan yang masuk, cuma ada dua
orang yang aku nyatakan ‘sesuai ketentuan’, selebihnya ngaco semua, ada yang
ngajak jalan, ngajak pacaran, ngajak ketemuan gak jelas, dan yang paling parah:
ngajak nikah. Enak aja!
“Maaf, Mas. Mas salah orang.”
“Nggak, ah, kan tadi denger nomor kamu dibacain di radio.”
“Iya, Mas bener, tadi nomor aku memang dipos di radio, tapi
buat nyari temen yang suka nulis,” jelasku,
“Bukan buat nyari pacar atau jodoh.” Tambahku berusaha sabar.
“Iya, tau,”
“Nah, lalu?”
“Aku emang gak terlalu bisa nulis, makanya lagi cari cewek
yang hobi nulis.”
“Oh.” Kataku, sesaat otakku mendeteksi sinyal positif.
“Mas ini dari penerbit atau apa? Mau cari penulis buat apa?”
tanyaku bersemangat.
“Ehm, sebenernya sih mau nyari cewek buat nulis-nulis
pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga, hehehe.” Duengggg! Hampir
pingsan beneran aku.
Klik. Call ended.
Blacklist! Kulempar handphone-nya lalu tidur.
Pagi harinya. Kupikir cara semalam kurang efektif, nyari
teman yang hobi nulis di kota yang sama seharusnya bukan dari radio, harusnya
aku nyari organisasi kepenulisan aja. Tadinya sih cuma nyoba, siapa tau bisa
nemu. Eh, taunya. Apes.
“Hahaha, mampus lu. Nyari temen penulis di acara biro jodoh!
Hahaha.”
“Rese, ah.” Aku cemberut. Novi jelas bahagia banget
mendengar nasib burukku semalam. Kirain gak cuma buat nyari jodoh. Ah,
penyiarnya juga yang salah, padahal gak usah dibacain aja SMS-nya. Wah, kacau,
kacau.
“Tapi aku dapet dua orang yang suka nulis, kok.” Senyum
lebarku membekap tawa Novi.
“Heh? Siapa?” Novi menyelidik, masih dengan sisa tawanya.
Aku bersiap berdiri, lalu menjawab sebelum pergi, “Adda,
deeeeh….”
Novi bergegas mengikutiku menuju koridor lain. “Dua orang?
Cewek? Cowok?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum.
*****
Yang satu, namanya Maria. Hobi banget nulis. Setelah
beberapa kali komunikasi via telpon, akhirnya kami mulai bertemu di acara
kerohanian. Beberapa kali kuajak dia untuk ikut di kegiatan tarbiyah, satu
organisasi dakwah besar di kota ini yang paling getol aku ikuti.
Maria, cewek manis yang menyimpan banyak kerapuhan. Maria
sering curhat soal tunangannya. Maria sering nangis-nangis waktu aku telpon.
Ckckck.
Setiap janji ketemuan, aku selalu berpesan supaya karya
tulisnya dibawa serta. Kubaca semua tulisannya. Satu bundel tulisan Maria,
semua tentang cinta. Hadeh, hadeh… tepok jidat. Itu di luar kemampuanku,
hehehehe.
“Aku tau, Al, dia itu sering bohongin aku… tapi aku nggak
tau, aku gak bisa bales perlakuan dia, aku sayang sama dia, Al.” Lirih suaranya
bermain di gendang telingaku. Seperti biasa, orang yang tidak punya pengalaman
soal cinta ini hanya mendengarkan dan mengangguk-angguk saja.
“Punya fotonya?” tanyaku. Setelah ngobrol banyak tentang
pria pujaan hatinya, aku jadi penasaran, seperti apa sih tampang pria
menyebalkan sekaligus cinta matinya si Maria ini.
“Ada.” Cepat-cepat Maria merogoh sesuatu dari dalam tas.
Sebuah dompet bermotif bunga-bunga emas dibukanya, tak lama, selembar foto
disodorkannya padaku.
Aku mendelik kaget.
“Aku cinta dia, Al. terserah orang mau bilang apa.”
Kata-katanya mengurungkan niatku untuk menyampaikan pendapat.
Kulihat foto pria yang sedang berpose dengan Maria. Kalo
Maria tidak pernah memberi tahu siapa orang itu, mungkin aku sudah mengira pria
itu cuma pamannya atau kakak tertuanya.
“Kenapa, Al?” Maria tersenyum, seolah tau apa yang sedang
kupikirkan. Aku balas tersenyum.
“Kami beda sebelas tahun.” Akunya. Aku tambah kaget.
Maria dengan cinta butanya diam-diam menjadi buah pikiranku.
Secara logis, baru ngeliat foto tunangannya itu, harusnya Maria mikir seribu
kali. Pria udah tua, banyak tingkah. Huh. Kebangetan aja tuh. Nyari lagi, dong,
emang gak ada gitu? Putusin aja… gampang, kan? Eh, iya, kan dia udah bilang
ratusan kali kalo pria itu cinta matinya? Hadeh… Emmm, apa mungkin Maria kena
pelet!? Huahaha, tumben aku percaya sama hal-hal begituan, hehehe, ehmm… lalu?
Apa sih yang bikin pria itu dipuja-puja gadis semanis dan semuda Maria? Aaaaah,
pusing! Kenapa semuanya di luar jangkauan otakku??! Hatiku nyerocos sewot. Gak
adil, masak sih orang sebaik Maria ini dapet pasangan kayak begitu.
“Cinta gak selalu pake otak, cinta yang sebenarnya… ya pake
hati.” Begitu kata temanku di kampus.
“Iya deh, iya…” Aku angkat tangan. Kalah debat.
Tak kusangka, itu adalah pertemuan terakhirku dengan Maria.
Komunikasi kami terputus semenjak nomornya tidak lagi aktif. Akun facebooknya
juga bak kuburan, sunyi. Dia benar-benar menghilang.
*****
Satu lagi, namanya Hans. Karya tulisnya kebanyakan puisi.
Dia gemar nulis lirik lagu. Dia punya grup band. Dia drummer. Satu lagi yang
aku tau tentang Hans, dia pernah masuk rumah sakit karena ‘Over Dosis’. Karena
hal yang terakhir inilah, aku berada di sini dengannya, dalam rangka observasi
participant, tugas pengamatan yang kuemban dari Mister Pujobuwono, dosen
favoritku di kampus. Hasil observasinya harus dibuat laporan tertulis dengan
judul gede-gede: LAPORAN HASIL OBSERVASI, ditambah judul kecil yang ditentukan
oleh masing-masing pelaku pengamatan atau observer. Sebagian temanku ada yang
melakukan observasi ke tengah kawasan pergaulan waria, rata-rata pertemuan
dilakukan di salon tempat kebanyakan waria itu bekerja. Ada yang melakukan
observasi ke tengah pergaulan anak jalanan, dengar-dengar ada juga yang masuk
ke kawasan prostitusi, dan lain sebagainya. Setelah dipikir-pikir, aku lebih
memilih masuk ke kawasan pemakai narkoba. Eit, memang, memang, aku sadar ini
sangat beresiko, tapi aku yakinkan sekali lagi, semua akan baik-baik saja,
setidaknya perasaanku sendiri yang berkata demikian. Kebetulan aku sudah lebih
dulu kenal dengan seseorang yang punya pengalaman seputar narkoba, meskipun
baru kali ini bertemu langsung. Dari sekian banyak obrolan lewat maya, akhirnya
kami bertemu pandang. Ini dia orangnya, Hans. Hoho, lihat saja, setelah hasil
observasinya kelar nanti, Pak Pujo bakalan berdecak kagum dan mau tidak mau
harus rela menuangkan huruf A di samping kolom namaku, hehehe.
“Sudah bisa dimulai?”
Tiba-tiba suara Hans memecahkan tayangan film verdanaku di
meja dosen.
“O, em, iya,”
Hans tersenyum. Aaah… ni orang doyan banget senyum-senyum.
“Aku pikir kamu gak berkerudung, maaf soal penampilanku.”
Hans berbasa-basi.
“Ah… haha, biasa aja lagi.” Kataku mencairkan suasana.
Setiap berbicara di telpon, memang kami tidak pernah menyinggung tentang
penampilan. Yang dia tau soal aku, aku kerja di pabrik kertas, hehehe ngibul, dikit...
hehe.
Masih terbayang saat tadi dia celingukan di depan kafe,
mencari-cari sosokku. Aku yang lebih dulu mengenali dan menyapanya karena
sebelumnya Hans menyebutkan ciri-cirinya, dia memakai anting di telinga kiri,
rambut sebahu, pakai kaus hitam pendek (bergambar samurai), pakai blue jeans
selutut. Dan yang tidak disebutkannya, soal tattoo naga di pergelangan
tangannya.
“Aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku senang bisa kenal
orang banyak dari berbagai latar belakang,” ucapku meyakinkan, “Kecuali masuk
komunitas wanita jadi-jadian.” Lanjutku dalam hati. Hans mengangguk senang.
“Kamu sering ke kafe ini?” Tanya Hans, mengalihkan
pembicaraan kami. Aku melihat ke luar, “Ya.”
Hujan masih deras.
“Hujan begini pasti lama, jadi bisa lama kita ngobrol.” Hans
menatapku.
“Mudah-mudahan nggak lama.” Sahutku.
“Hehe, kamu gak takut, kan, sama aku?” Hans menatap
dalam-dalam padaku, seolah ingin tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya saat
itu.
“Takut? Kenapa harus takut? Sama buaya, sih, iya.”
Hans tertawa, “Bukan begitu… maksudku, kamu lihat
penampilanku? Kamu gak takut dirampok atau diculik?” godanya, tapi dengan nada
serius. Mungkin dia sadar, tampangnya boleh dibilang masuk kategori tampang
kriminal.
“Hmmm, asal tau aja, aku jago karate.” Kataku, pasang muka
sangar.
“Oh…” Dia manggut-manggut. “Oke…” senyumnya dikulum.
Ah, lagian siapa bisa jamin, seandainya sekarang dia rapi
kelimis, trus orang harus percaya aja gitu kalo dia orang baik? Detik ini aku
lebih percaya pada kata hatiku sendiri. Insya Allah dia gak bakal macem-macem.
Intuisiku berkata, aku aman.
“Semenjak kamu bilang kalo kamu… gak suka sama….” aku
berhenti, kulihat air mukanya, tenang, “Aku pikir kamu gak bakal macem-macem.”
Lanjutku jujur. Dia mengangguk paham. Hans pernah cerita soal ketertarikannya
pada sesama jenis. Dan karena ketertarikannya itu pada sesama jenis, Hans
mencoba menghubungi nomor yang kuposting di radio dulu. Dia kecele, ternyata
‘Ali’ yang disebutkan oleh penyiar radio itu bukan cowok, hhehehe. Seandainya aku
terus menolak mengangkat telpon darinya, mungkin baru sekarang ini dia tau
siapa aku yang sebenarnya. Awalnya dia sama sekali tidak percaya. Kalau saja
Hans termasuk tipe cowok genit seperti kebanyakan penelpon di malam menyebalkan
itu, sudah pasti aku jaga jarak sejauh mungkin. Tapi dengan Hans, aku gak ambil
pusing.
“Sekarang aku sudah mulai suka sama lawan jenis.” Senyumnya
mengembang. Kuabaikan pengakuannya barusan.
“Hans.” Aku memulai serius. Dia mengangkat dagu, melihat
padaku.
Aku mulai menjelaskan tentang maksudku menemuinya. Banyak
hal yang ingin kuketahui tentang sosok sepertinya. Kusampaikan, dia boleh
menolak menjawab pertanyaanku jika dirasanya terlalu privacy. Namun, tidak
begitu sulit mengajaknya bekerja sama. Dia cukup terbuka. Tentang sejak kapan
bergaul dengan narkoba, bagaimana dia mentato tubuhnya, tentang anting-anting
yang dikenakannya, tentang teman-teman sepergaulannya, tentang kuliahnya yang
kandas di tengah jalan, tentang kenapa dia lebih suka dengan sesama jenis,
berkali-kali dia tegaskan bahwa sekarang dia sudah mulai suka dengan lawan
jenis. “Syukur, deh.” Pikirku.
Dia mengaku, sungguh sulit berupaya berhenti dari
obat-obatan. Tapi setelah masuk rehabilitasi, setahap demi setahap dia mulai
terbiasa tanpa narkoba.
Sambil menunggu hujan reda, kami mengobrol banyak di luar
topik yang kumaksud..
“Minggu depan ada konser musik underground. Aku maen.
Tempatnya di Gor Republik. Kamu datang, ya, nanti aku titip kamu ke
teman-temanku di sana.” Pintanya.
“Lho? Aku dititipin? Maksudnya?”
“Kamu gak mau diganggu orang-orang mabok, kan?”
“Hooo? Gak, lah. Memang banyak orang mabok, ya?”
“Emmm, bukan, memang begitu tiap ada konser, gak peduli
konser musik apa, keributan pasti ada. Iya, kan.” Jelasnya.
“Oke, pastikan aja nanti aku aman di sana.”
“Beres, Non.” jawabnya enteng.
****
Minggu depannya. Aku benar-benar datang.
Aku merapat ke dekat tiga orang berseragam polisi. Terlalu
banyak pasang mata memperhatikan kehadiranku. Aku satu-satunya perempuan
berkerudung di tengah ratusan penonton perempuan yang notabene punya ciri-ciri
penampilan seperti Hans: bertato, bertindik.
Aku tidak datang sendirian. Kuajak Rika, teman semasa SD
dulu, dia tomboy, lebih tomboy dariku, banyak orang terkecoh mengira dia
laki-laki.
Berbagai pemandangan asing di sekitarku membuat aku semakin
asik memperhatikan. Diam-diam kuambil beberapa gambar, lalu mengambil sebuah
buku kecil.
“Maaf. Ali, ya?” Seorang pria tiba-tiba menghampiriku.
Aku berhenti menulis. “Iya.” Jawabku seraya menatapnya
lekat-lekat, mencoba mengingat sesuatu.
“Oh, ayo di sana saja biar bisa duduk-duduk.” Ajak pria itu,
menunjuk ke bagian belakang dekat pintu keluar.
“Mas ini siapa? Aku gak apa-apa, di sini aja deh,” Tolakku
halus, masih bertanya-tanya dalam hati, kok dia tau siapa namaku? Rika
mengalihkan perhatiannya pada pria asing di sampingku ini yang tiba-tiba
mengajakku pergi ke tempat lain.
“Haha, aku temannya Hans.” Pria itu tergelak menyadari
kehati-hatianku, “Aku Revan,” diulurkannya lengannya padaku. Aku tersenyum, merapatkan
kedua telapak tangan lalu membungkuk sopan.
“Oh, maaf.” Cepat-cepat dia meniru gerakanku, persis seperti
yang dilakukan Hans ketika pertama bertemu.
“Ayo kita ke sana.” Ajaknya lagi. Rika menyambut uluran
tangan Revan, aku mengangguk mengiyakan.
“Ayo.” Ajakku pada Rika.
Acaranya sebentar lagi dimulai. Aku sengaja datang lebih
awal supaya gampang mengenali situasi dan kondisi. Awalnya memang lumayan
risih, tapi setelah beberapa orang teman Hans menyapaku, perasaan asingku
sedikit demi sedikit hilang begitu saja. Aku punya banyak teman baru.
Watak ‘Knowing Every Particular Object’-ku bisa jadi
penyebab obrolan kami gak ada habisnya. Revan dan teman-teman Hans lainnya
dengan senang hati menjawab setiap keingintahuanku tentang dunia mereka, “Dunianya
orang-orang bebas.” Kata Rika.
Hentakan-hentakan keras deras bertalu diiringi lengking
menyayat memenuhi seluruh penjuru gedung setinggi 40 kaki ini. Sambil
mengamati, diam-diam kutulis semua yang kulihat:
Perempuan cantik berambut coklat di dekat stage itu terlihat
begitu menikmati permainan musik yang sedang berlangsung, sesekali mulutnya
menghisap dan menghembuskan kembali kepulan asap rokok dari sela jemarinya yang
putih.
Orang-orang berdesakan di depan stage, menggerak-gerakkan
tubuhnya dengan gerakan liar.
Kumpulan pria berambut gimbal dan berambut ala punkers tak
luput dari pengamatanku. Gelak tawa mereka terdengar samar dari jarak sekian
puluh meter dariku. Mereka terlihat akrab satu sama lain.
Seorang bapak tua tidak pernah terusik dengan suasana
berisik di dalam sini, ia terus melayani para pembeli minuman di dekat pintu
masuk sebelah kiri.
Seorang pria kurus penjual merchandise sibuk merapikan
barang-barangnya.
Rika, temanku yang berusaha menghalau kebosanannya dengan
bersandar dan memenuhi ruang dengarnya dengan musik kesukaannya lewat headset.
*****
Aku tidak sempat pamit langsung pada Hans. Dia terlalu sibuk
di belakang stage.
Malamnya, ketika aku masih berkutat dengan tugas, Hans
menelpon.
“Tadi kamu pulang jam berapa?”
“Oh, aku gak pulang sampai selesai, soalnya Rika ngajak
pulang duluan. Maaf aku gak pamitan langsung.”
“Gak apa-apa. Gimana tadi?” Tanyanya lagi.
“Yah, lumayan, tambah wawasan, hehe.” Jawabku, “Makasih atas
bantuannya, doain biar aku dapat nilai A.”
“Sip…”
Sesaat setelah kututup pembicaraan kami, satu pesan masuk ke
nomorku.
Kubaca. Rupanya dari Hans.
“Dari seluruh yang kamu lihat hari ini, semoga kamu tidak
termasuk bagian dari orang-orang semacam aku. Kumohon, jangan jadi orang
seperti aku.”
Aku terpaku. Memandangi setiap kata yang tersirat dari dasar
hatinya.
Dulu, saat pertama kali dia membuat pengakuan bahwa dia
adalah mantan pemakai narkoba, jelas aku kaget.
(“Kenapa? Kamu jijik, ya, sama aku?” Tanya Hans waktu itu.)
Kuketik pesan balasan untuknya.
“Tapi aku mau, kok, jadi orang yang selalu menyadari dan
mengakui setiap keburukannya sendiri. Seperti kamu.”
Sending. Failed.
Pesan gagal terkirim. Pulsaku habis. Hff.
*****
Semua yang kulihat adalah bagian dari ciptaan-Nya, seperti
apapun itu, seperti apapun mereka, seburuk apapun itu. Allah yang begitu kaya
akan karya ciptaNya, menciptakan beraneka ragam makhluk, tidak selalu dibuatnya
rupa dan hati yang elok menurut pandangan manusia. Ada malaikat, ada setan.
Semua merupakan pelajaran bagi sesiapa yang mau berpikir. Aku merasakan diriku
begitu dekat dengan Sang Maha Karya.
HANS – Melodi Hitam-Putih (Diambil dari ‘Catatanku’
@Sukabumi 2012)