http://www.sociabuzz.com/r/8006
Read more...
Title Featured Post 1
Etiam augue pede, molestie eget, rhoncus at, convallis ut, eros...More
Title Featured Post 2
Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam...More
Title Teratur
Etiam augue pede, molestie eget, rhoncus at, convallis ut, eros...More
Selasa, 17 Januari 2017
Kamis, 22 Desember 2016
Liburan Ke Situ Gunung Sukabumi
Liburan telah tibaaaaaaaa. Huhuyyyyy... Para emak kucing mulai ribut gugling infoh destinasi wisata termahsyur dannnn termurah sepanjang masa heheh yuk yak boleh coba target wisata rekomenan AlamKucing yang cuma ada di Sukabumi. Nih dia infonya:
WISATA SITU GUNUNG
Jika sahabat bingung mau menghabiskan liburan dimana tapi dengan biaya yang hemat, coba saja mampir ke Taman Wisata Alam Situ Gunung - Sukabumi. Situ Gunung (situ dalam bahasa sunda artinya danau). Terletak di kaki Gunung Pangrango, Kecamatan Kadu Dampit (lebih kurang 16 Km sebelah Barat laut kota Sukabumi). Sebuah danau dengan keindahan alam dan hawa pengunungan yang sejuk akan memanjakan Anda dan keluarga yang berkunjung. Bersiap-siaplah untuk camping di sini, untuk menyatu dengan alam sekitar. Kejenuhan dari rutinitas yang Anda lalui sehari-hari dijamin akan hilang seketika.
Untuk sampai ke Situ Gunung yang terletak di bawah kaki Gunung Pangrango, sahabat bisa memulai perjalanan mengikuti rute angkutan umum dari Stasiun Cisaat kemudian lanjut nyambung angkutan umum tujuan Polsek Cisaat, bilang ke supirnya ajjja mau diturunin di gerbang Situ Gunung. Beresss. Nyampe, deh.
Setelah sampai di gerbang utama Situ Gunung, sahabat bisa membeli tiket masuk, harga tiket ter-update tahun 2016 sekitar di bawah Rp 20.000. Dengan harga segitu kita bisa menikmati setidaknya 2 ikon wisata seperti Curug Sawer dan Danau Situ Gunung.
Bisa dilihat kan ada petunjuk arah kanan dan kiri setelah sobat melewati gerbang dan membayar tiket masuk.
Sebetulnya ketika sahabat memilih petunjuk arah ke jalur kiri di sana tidak hanya tersedia penginapan saja, sahabat bisa melihat juga pemandangan elok dari sebuah danau yang tentunya sangat banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar kota. Sahabat bisa menikmati luasnya danau dengan berkeliling menggunakan perahu yang disediakan oleh petugas penyewaan.
Selanjutnya bagi sahabat yang memang lebih senang mengarungi medan perjalanan yang lumayan menantang, sahabat bisa memilih arah jalur kanan yang terhubung ke wisata air terjun yang dinamakan Curug Sawer.
Setelah melakukan perjalanan, keelokan air terjun yang satu ini mampu mengobati kelelahan selama perjalanan yang menguras tenaga. Sahabat bisa berselfie ria *cheeerrrrssss
Alamat situ gunung sukabumi berada di Kecamatan Kadu Dampit, Sukabumi KPH Sukabumi: Jl. R Martadinata 27, Sukabumi
Selasa, 09 Agustus 2016
Selasa, 26 Juli 2016
Cerita Pertama Bersama Timmy
Malam dengan nuansa dingin beserta raungan kilat memekakan telinga. Tak ada yang aku lakukan selain tiduran. Hingga akhirnya suara cempreng itu berkali-kali merajuk di teras rumah.
"Miaauuuuuwwww..... miaw..."
Lalu samar kudengar Mama menggerutu.
"Siapa, sih, malem-malem buang kucing?"
Aku yang penasaran lantas segera menyusul ke pintu depan. Seekor kucing sedang berkutat melawan dorongan sapu. Mama terus mendurung supaya kucing kecil itu pergi. Aku yang kasihan segera menggendong anak kucing itu.
"Kasian, Ma. Kan hujan.... Biar ikut di dalem dulu deh, besok janji mau di suruh pergi."
Akhirnya Mama setuju.
Kugendong kucing itu masuk ke kamar. Tampaknya udara di luar cukup membuatnya sangat kedinginan.
***
Paginya aku baru sadar, si bengal mungkin kelaparan sehingga semalaman tak berhenti menggangguku.
Singkat cerita, sejak hari itu aku mulai membiasakan diri untuk mengurus kucing lagi. Kuusahakan untuk mengurusnya lebih baik. Mama sudah tidak ambil pusing lagi ketika kucingku masuk rumah dan tidur di manapun dia suka. Kucing yang satu ini memang pemaksa dan pengancam, hehe, (kalau Mama mengusirnya, dia bisa maksa masuk, nongol lewat jendela dapur, atap rumah, atau lewat mana saja sampai Mama kewalahan dan merasa pusing seratus keliling) akhirnya Mama bersikap masa bodo selama aku mau bertanggungjawab atas segala keonaran yang dibuatnya.
Kuberi nama Timmy, karena aku ngefans sekali pada tokoh kartun animasi Shaun The Sheef yang imut dan bandel.
Timmy punya sifat ceria, hiper aktif, dan gak pernah kapok mengusik Mama yang paling anti terhadap kucing. Setiap ada tamu, siapapun itu, anak2, ibu2, bapak2, sudah dipastikan jadi korban keisengan dan kejahilan Timmy seperti ujung roknya digigit2, sandal disodok2 sambil guling2 centil, dsb. Mama sampai frustasi dibuatnya, namun tanpa disadari, aksi2 kocak Timmy mampu membuat Mama terang2an tertawa geli setiap hari. Lama kelamaan kurasa Mama mulai suka.
****
Tibalah suatu hari Timmy pulang main dalam kondisi sempoyongan, sementara dari sekitar duburnya keluar cairan, tapi tidak berbau. Aku, dan Mama juga sangat panik. Dari hari ke hari kondisinya terus memburuk. Sudah hampir sebulan Timmy sakit. Hingga di suatu pagi, kami menemukan Timmy menyendiri di belakang rumah, dekat gundukan sampah.
Saat itu aku benar2 tidak siap jika harus kehilangan Timmy, apalagi Mama juga sudah mulai sayang padanya.
Allah-pun menggerakkan hatiku untuk berbuat sesuatu. Kucari nomor2 Drh di internet. Kupikir, aku harus segera mengkonsultasikan keadaan Timmy. Aku senang sekali, nomor telpon Drh yang siap menerima konsultasi gratis ternyata banyak juga. Lewat pesan singkat, kuhubungi semua nomor Drh yang kudapatkan dari internet, kusampaikan hal yang dialami Timmy. Alhamdulillah, respon mereka begitu cepat, sampai aku terharu atas kepedulian mereka pada Timmy.
Kupelajari sekian banyak saran dari puluhan drh yang kuhubungi lalu kuputuskan untuk memilih saran2 terbanyak yang paling sama. Akhirnya, tanpa tunggu lama lagi, aku segera pergi mencari Kelapa Muda, Susu Beruang, dan Obat Drontal (di pet shop). Setelah semua didapat, pertama-tama kuberikan dulu air kelapa disemprot ke mulut Timmy menggunakan alat suntik mainan, kupastikan Timmy menelan air kelapa dengan cukup banyak. Masih melalui pantauan jarak jauh seorang drh yang antusias membantuku, aku terus updet perkembangan kondisi Timmy setelah diberi minum air kelapa muda. Kulihat sudah ada tanda-tanda Timmy menggerakkan badannya dan merespon air susu beruang yang aku sediakan di mangkuk kecil. Aku dan Mama semakin bersemangat ketika Timmy minta susu beruang lebih banyak, diminum terus dan terus meskipun dibantu minum dalam keadaan terbaring. Setelah itu, masih lewat pesan singkat, drh membuat takaran (dosis) obat drontal yang harus aku berikan pada Timmy. Masih menggunakan alat suntikan mainan, Timmy kucekoki obat. Beberapa menit kemudian, Timmy berusaha berdiri...........! Lalu jalan sempoyongan menghampiri adikku yang sedang makan jagung rebus. Ngeong.... Timmy minta makan jagung! Heheheheheheeeeeeeeeeee. Aku tertawa girang dan bahagia. Mama tak bisa menyembunyikan kegemasannya. Timmy makan biji2 jagung rebus, masih dalam kondisi badan kurus, kotor akibat tidak pernah mengurus diri selama sakit, dan kedua selaput mata yang masih terlihat pucat.
Malam harinya setelah Timmy sehat, tiba2 Mama berteriak memanggilku. seolah ingin menunjukkan penemuannya, Mama menunjuk ke arah kaki . Kulihat Timmy sedang khusuk memijit-mijit kaki Mama. Serempak kami sekeluarga tertawa.
Timmy, Timmy.
Read more...
Rabu, 18 Maret 2015
Gang Kucing #3
GANG
KUCING Bag. 3
(Abang
Sayang#4 Selesai)
Cuplikan
episode sebelumnya:
Hufff
Kulempar
begitu saja sampahnya ke dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat
keluar. Wih, kaget. Dan saat itu juga memori di kepalaku segera mengingat
sesuatu.
“Iya, Al.
Biasanya diem di dekat TPS itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama
Burik. Gak bisa cari betina yang agak manis dikit napa.”
Suara
Bunda Yhatie beberapa hari yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya,
ini pasti yang namanya Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini
berdiri terpaku menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan
kembali menatapku lagi.
“Sini,
empush… push, push.” Aku berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti
memanggil ayam.
Dengan
ragu, Burik mendekat, mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di
sana. Burik memang kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran
manjanya ketika kuelus kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.
“Hoho,
pantas saja Si Abang suka sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus
terus bulu-bulu abu Burik yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat
terlintas di benakku untuk membawa Burik ke rumah, memeliharanya di rumah,
namun ide itu segera kuhapus ketika mengingat betapa Mama tidak akan setuju
tentang itu. Dengan berat hati, kutinggalkan Burik yang masih terbengong
menatapku, sedikit kecewa karena aku berhenti mangelusnya dan terus berlalu
tanpa kembali menoleh padanya.
*****
Haaaah,
liburan begini enaknya genjrang-genjreng di kamar, pasang sound system super
nge-bass. Yeah! Buang sampah udah kelar. Oiya, mau mampir dulu ke rumah Mama
Okta, penasaran sama tanaman-tanaman tadi, eh, apa namanya? Hoho, gini-gini
juga aku sempat tertarik masuk fakultas pertanian, lho, tapi entah, malah nyasar ke jurnalistik.
Bersamaan
langkahku yang luar biasa penuh semangat, tiba-tiba seorang pemuda jangkung
berkaca-mata memanggilku. Aku menengok.
“Permisi!
Eh, numpang tanya!” Katanya dengan logat jawa kental, kemudian tergesa-gesa
menghampiriku seraya melepas sebelah alat dengar yang menyumbat telinganya.
Senyum ramahnya segera kusambut.
“Ya.
Kenapa, Mas?” Aku menatapnya lekat.
“Ini,”
segera dirogohnya selembar kertas dari dalam saku celananya, kemudian
disodorkan padaku, “Maaf, tau alamat ini, ndak?”
Aku
beralih, memeriksa alamat yang tertulis di kertas itu. Sejurus kemudian,
mulutku membulat lebar. “Oooo… Aku tau, ayok aku tunjukkin.” Kataku memberi
isyarat supaya dia mengikuti.
“Oh?
Baik.” Air mukanya tampak sumringah.
Ah,
jalanan masih sepi. Mas Ari and the gank belum penampakan di posko depan gang.
Biasanya suka kumpul-kumpul begitu. Ngakunya sih rapat, gak tau rapat apaan di
posko. Hehe, perasaan sering banget acara rapatnya tu orang, Hihi.
Satu dua
kulewati rumah warga. Jadi teringat Mpok May, sudah lama pulang kampung, sampe
gini hari belom balik juga, padahal aku dan Ratih hobi banget mangkal di teras
rumahnya. Huhu, jadi kangen. Kata Mba Fitri yang tinggal di dekat kostan Bu
Haji Salamah sono, Mpok May perginya subuh-subuh gitu, sih, jadi gak sempet
pamitan ke semua tetangga, cuman waktu itu kebetulan aja suaminya Mbak Fitri
udah petantang petenteng di halaman, ketemu dulu deh sama Mpok May.
“Al! Mao
kemana lagii??” Et, dah, suara Ratih lagi. Aku celingukan.
“Ke rumah,
lah. Kan baru buang sampah. Entar siang ditunggu, yak.”
Ratih
mengangguk dari balkon rumahnya, kemudian melirik penuh tanda tanya pada sosok
di belakangku.
“Ouh!”
Haha, aku baru inget ada orang di belakangku sejak tadi.
“Mas ini
tamunya Mama Okta! Haha.” Aku cekikikan, memberitahu asal-usul pemuda yang baru
beberapa menit tadi bersamaku. Ngelamun kemana-mana sampai lupa sesuatu. Wkwkwk
Mas-mas di
belakangku tersenyum dan mengangguk ke arah Ratih. Dia mulai mesem-mesem
begitu, ah, aku tebak seandainya gak ada orang di sini udah pasti dia ngakak,
atau seandainya dia udah akrab banget sama aku paling-paling kepalaku sudah
jadi sasaran empuk jurus jitaknya. Tapi syukurlah, kejadiannya gak sampe
begitu.
Ratih
balas tersenyum. Jaim. Hehe.
“Udah, ah.
Cus dulu nih.”
“Oke.”
Tak lama,
kami sampai di depan pagar rumah mama Okta. Kulihat seseorang di halaman.
“Misi, Om.
Ada tamu, nih!” Seruku.
*****
Bang Safri
sudah kembali mendorong gerobak sayurnya. Itu artinya para ibu sudah kembali ke
habitatnya masing-masing, kegiatan rumpi sudah berakhir. Hehe, memang begitu
kegiatan ibu-ibu, gak cuman di filem-filem aja, yang namanya acara beli sayuran
sudah pasti kagak rame kalo tanpa bumbu berupa obrolan seputar kehidupan rumah
tangga. Dari mulai suami, anak, cucu, cicit, tetangga samping kiri, tetangga
samping kanan, depan, belakang, semua kesebut. Lha, anehnya di sini: sampai
berita kelahiran kucing aje sampe jadi hot news. Haha, di mana lagi keunikan
ini terjadinya kalo bukan di Gang
Kucing.
“Abaang!!”
Nah, kalo yang ini pasti teriakan khas milik Bunda Yhatie. Aku merandeg.
“Kabur
lagi dia!”
Aku berdiri,
melihat sedikit keributan dari balik pintu pagar Bunda Yhatie. Rupanya Abang
menyelinap kabur saat pintu rumahnya terbuka. Lantas sosok berbulu abu itu
melarikan diri, hampir bertabrakan denganku.
“Kemana
dia perginya, Al?” Bunda Yhatie melihat padaku, wajahnya terlihat agak kesal,
dipandanginya semak-semak di samping rumah.
“Ke sana,
Bunda.” Telunjukku segera memberi tahu ke mana arahnya Si Abang pergi. Ke luar
gang. Barangkali menuju ke TPS di depan sana. Ketemuan sama pacarnya, Si Burik.
Trus entar mereka nangis-nangis Bombay gitu kayak di filem Rano Karno. Lho?
Bunda
Yhatie hanya geleng-geleng melihat aksi kucing semata wayangnya itu.
“Tadi
pacarnya Si Abang ada tuh di TPS. Hehehe.”
“Si
Burik?”
“Iya,
Bun.”
“Ckckck.”
“Kasian,
Bun. Biarin aja…” Usulku membuat Bunda Yhatie tertegun lalu menarik napas
berat.
Aku segera
pamit dan berlalu. Rencana teriak-teriak sambil bunyiin musik keras-keras harus
segera terealisasi.
*****
Betul
sekali dugaan Bunda Yhatie. Abang tidak pernah mau pulang setelah aksi
pelariannya kemarin. Sampai akhirnya pada suatu sore, Si Abang nongol juga di
teras, bawa pacarnya juga, gak cuma Burik yang nangkring di situ, masih ada
satu betina lagi. Total semuanya bertiga. Nah, terus… yang ngedeprok di atas
pagar tembok itu masih pacarnya juga? Ah, iya berarti lagi berempat... Eh,
tapi… diam-diam ada sepasang mata betina memperhatikan dari luar pagar.
Duh, duh…
Si Abang…
Selesai
*****
Tunggu
serial Gang Kucing di edisi berikutnya ;)
Trims buat
para pemeran: Koh YumeDha SinoShuke pemeran baru di Gang Kucing, Ratih Nur
Aini dan kucing-kucingnya di balkon rumah hehe, Ari Saputra dan kawan-kawan
tongkrongannya di posko depan Gang Kucing, Mama Okta Leni yang punya Muty sama
Ucil, Bunda Yhatie Suryo Lukman yang punya Si Abang, Mbak Fitri Anggriani
yang punya Mboth, Mpok May yang entah pergi ke mana, aku kangennnn, rumah di
Gang Kucing kosong terus tuh Mpok...
GANG KUCING Bag. 3
(Abang Sayang#3)
Siapa, sih, yang bisa tahan
menanggung rindu? Gak ada… Efeknya, kalo gak sakit, ya mati, hahaha, eit jangan
protes dulu…, ada orang bilang begini: “Berat hati ini menanggung rindu, rindu
yang kian lama hendak membunuhku, membunuhku dalam kerinduan, kerinduan yang
membunuhku. Mati dalam kerinduan” Uyeeeee, segitunya, hehe. Tapi bener, lho,
yang namanya rindu memang susah diobati. Kalo kondisinya tambah parah,
bisa-bisa harus segera berurusan dengan psikiater terdekat di kota Anda,
hihihi. Tinggal tunggu hasil diagnosisnya dan silakan dibaca resepnya. Paling
dikasih obat penenang dosis tinggi, hehehe.
Ehm, cinta terlarang karena status
sosial, yah, akhirnya jadi begini ini, muruuuung terus, males makan, susah
tidur, dunia seakan tak berwarna, hambar. Lagi ngomongin siapa, sih? Aku? Hehe,
bukan…, tapi ini lho kucing punya tetangga, depan rumah. Gkgkgk.
Si Abang namanya, kucing kesayangan
Bunda Yhatie. Cinta Abang diduga akan segera kandas sebelum mekar dan bersemi
melewati musim hujan ini. Uhuk (keselek, dah). Cintanya pada Burik, kucing liar
tak bertuan dari kampung sebelah itu tak direstui Bunda Yhatie. Seharian ini
Abang mengalami hal terburuk yang paling dibencinya – Abang tak lagi bebas
berkeliaran di jalanan, Abang dikurung di rumah. Abang tak dapat lagi membuat
kerusuhan di atap rumah tetangga, tak lagi membuat kerepotan pengendara jalanan
akibat menyebrang sembarangan atau tawuran yang beresiko kemacetan di sepanjang
Gang Kucing seperti hari-hari sebelumnya. Waduh, kelewat dramatis nih, hehe.
*****
Abang benar-benar kesunyian… Abang
sedang menderita, menderita menanggung rindu, rindu pada Burik, kucing liar
dari kampung sebelah.
“Biasanya genting rumah saya bocor
setiap seminggu tiga kali!”
“Nah, saya kemarin hampir nabrak
pohon, banting setir waktu liat kucing-kucing nyebrang di jalan sana, waktu itu
Si Abang yang lagi kejar-kejaran.”
“Aduh ibu-ibu, Si Abang emang ude
wataknya begitu dari orok, bikin heboh terus.” Jelas Bunda Yhatie dengan
cueknya di sela protes ibu-ibu penghuni Gang Kucing. Bang Safri, tukang sayur
keliling yang kini dikerubuti ibu-ibu dari Gang Kucing itu cuma mesem-mesem
sambil melayani para pelanggannya. Aku memperhatikan dari kursi teras, sesekali
melongok ke dalam, Mama belum juga muncul.
Tak berapa lama, Mama ke luar,
menenteng dua keresek sampah dari dapur. Aku tergopoh membantu membawakan
sampah-sampah itu untuk dibuang ke TPS.
“Ee, Bu Ani… Sini gabung, Bu.” Sapa
Bunda Yhatie ketika melihat Mama menghampiri.
Aku melengang, menuju tempat
pembuangan sampah di seberang Gang Kucing. Sepagi ini hampir semua pekarangan
warga sudah tampil bersih, enak dipandang. Ada satu tanaman yang membuatku
berhenti ketika melewati pekarangan rumah Mama Okta. Ada pohon cabe yang warna
buahnya beragam warna. Sejenak aku melihatnya lebih dekat.
“Mau ke mana pagi-pagi, Al?” Sebuah
suara mengejutkanku.
“Ini mau buang sampah, Ma.” Kulihat
Mama Okta di pintu samping. “Tapi mau liat dulu ini nih, unik ya, Ma, pohon
cabenya.” Aku menunjuk pohon cabe yang berjejer cantik di dalam polybag.
“Oh, itu. Sini masuk dulu,
ngobrolnya di dalam. Mama Okta melambai padaku yang masih berdiri di balik
pagar rumahnya.
Aku kembali meneruskan perjalanan
setelah pamit dan berjaji akan mampir setelah kembali dari TPS.
Bisa dipastikan, warga sini memang
telaten mengurus segala sesuatu termasuk tanaman. Pohon-pohon rindang yang
berdiri di sepanjang jalan dengan jarak 6 meter antara pohon satu dengan pohon
lainnya memang sudah menjadi bagian dari perencanaan tata kota sebelumnya, eh
tata gang mungkin hehe. Sebagian besar cabang-cabang pohon berdaun lebat yang
menaungi pejalan kaki di sepanjang jalan gang ini hampir mirip boulevard, hanya
saja warga harus lebih rajin bekerja bakti membersihkan daun-daun kering yang
berjatuhan di sekitarnya. Aku semakin menyukai keunikan Gang Kucing beserta
seluruh isinya dibanding dengan tempat tinggalku sebelumnya.
“Al!” Seseorang memanggilku, aku
celingukan mencari si pemilik suara dan akhirnya kutemukan sosok Ratih dari
balkon rumahnya, masih lengkap dengan alat pel di tangan. Blacky, Ullie,
Ndundut, dan kucing-kucing peliharaan lainnya kulihat mondar-mandir tak jauh
dari situ.
“Hei!” Sahutku.
“Mau ke mana?” Tanya Ratih setengah
berteriak.
“Buang sampah ke depan.” Jawabku
seraya mengangkat tinggi dua keresek sampah di tanganku.
“Nanti siang ada di rumah, gak?”
Tanya Ratih lagi, lengannya bertumpu ke besi pembatas balkon.
Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat
sesuatu, kemudian menggelengkan kepala. “Gak ada, ke rumah aja, OK!”
“Sip.” Ratih mengacungkan jempol ke
arahku.
Semenjak kami tinggal di satu gang,
aku dan Ratih lebih akrab karena di sekitar sini hanya aku dan Ratih yang
terbilang masih seusia dari kalangan cewek, yang lainnya cowok-cowok dari
kostan Bu Haji Salamah, kebanyakan memang seusiaku, mereka juga – sebagian –
masih mahasiswa seangkatan dari fakultas pendidikan dan kedokteran, kami tidak
terlalu dekat, hanya jika ada acara yang diselenggarakan oleh para pengurus
Gang Kucing saja kami biasa kumpul, selain itu jarang banget. Oh iya, kudengar
ada salah satu penghuni kontrakan Bu Haji Salamah yang sedang menempuh
pendidikan di kedokteran hewan. Kata Mas Ari, dia masih anaknya kenalan Om
Yudith, yang dulu pernah aku ceritakan punya petshop dan observator kucing di
gang ini.
*****
Hufff
Kulempar begitu saja sampahnya ke
dalam TPS sebelum akhirnya seekor kucing melompat keluar. Wih, kaget. Dan saat
itu juga memori di kepalaku segera mengingat sesuatu.
“Iya, Al. Biasanya diem di dekat TPS
itu. Bunda gak suka kalo Abang deket-deket sama Burik. Gak bisa cari betina
yang agak manis dikit napa.”
Suara Bunda Yhatie beberapa hari
yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Burik? Ya, ini pasti yang namanya
Burik. Kuperhatikan lekat-lekat wajah Burik yang kini berdiri terpaku
menatapku, sesekali matanya melirik pada onggokan sampah dan kembali menatapku
lagi.
“Sini, empush… push, push.” Aku
berjongkok, menggerak-gerakkan jemari seperti memanggil ayam.
Dengan ragu, Burik mendekat,
mengendus ke arah tanganku seolah berharap ada makanan di sana. Burik memang
kucing liar yang tidak terlalu sulit didekati. Dengkuran manjanya ketika kuelus
kepalanya menandakan Burik kucing yang jinak.
“Hoho, pantas saja Si Abang suka
sama kamu, kucing baik.” Aku terkekeh sambil mengelus terus bulu-bulu abu Burik
yang tak begitu terurus. Kasian, pikirku, Sempat terlintas di benakku untuk membawa
Burik ke rumah, memeliharanya di rumah, namun ide itu segera kuhapus ketika
mengingat betapa Mama tidak akan setuju tentang itu. Dengan berat hati,
kutinggalkan Burik yang masih terbengong menatapku, sedikit kecewa karena aku
berhenti mangelusnya dan terus berlalu tanpa kembali menoleh padanya.
Bersambung....
Bunda Yhatie Suryo Lukman, Mama Okta
Leni, Ari Saputra, Ratih Nur Aini, ikut berperan lagi di cerita ini hehe
*****
Langganan:
Postingan (Atom)